Pages

Rabu, 10 November 2010

Sanse Gileee Benerr dahhh !!


Suatu sore hari di medio November 2007. Sebuah gerai di pameran Trubus Agro Expo 2007 ramai oleh pengunjung. Ratusan pot sansevieria: gold flame, california, dan pagoda yang terpajang di ruangan berukuran 4 m x 6 m jadi perhatian utama. Di penghujung pameran selama 10 hari, Harry Sugianto, pemilik stan, menuai omzet Rp50-juta dari penjualan 500 pot sansevieria.
Nominal sebesar itu tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, Harry tergolong 'anak bawang'. Pensiunan perusahaan alat berat itu baru terjun di bisnis lidah mertua pada Maret 2007. Ketika itu ia nekat ikut pameran pertama kali di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta Timur. Nekat? Ya, ketika itu dunia tanaman hias tengah 'dikuasai' anthurium, si raja daun. Harry kukuh pada pendirian dengan memajang 1 jenis tanaman: sansevieria. 'Waktu itu omzetnya hanya Rp15-juta. Saya betul-betul tak menyangka omzet berlipat 3 kali dalam hitungan bulan,' katanya.
Kini Harry membuka greenhouse di bilangan Lido, Bogor, seluas 500 m2. Itu untuk menampung jenis cylindrica, giant, dan canaliculata. Ketiganya tergolong berdaun tebal. Maklum, sejak sebulan terakhir permintaan yang masuk jenis berdaun tebal, bulat, dan kering yang disukai karena bandel dan tahan banting.
Eksklusif Wajah baru yang juga ketiban rezeki lidah jin ialah Heroe Pramono di Surabaya. General manajer sebuah perusahaan bahan bangunan itu terjun ke bisnis sansevieria pada Juni 2007. Pada penghujung 2007 Heroe menjual 100 pot lidah mertua per bulan. Jenis yang diburu pelanggan, S. zaelani australian black spot, gold flame, twister, dan patula. Heroe meraup omzet Rp7,5-juta-Rp10-juta per bulan. Manisnya sansevieria juga dirasakan Nanang Prasojo di Yogyakarta.
Sukses 3 pendatang baru di bisnis sanseveria itu bukan tanpa sebab. Penelusuran Trubus ke berbagai daerah, bisnis sansevieria memang tengah menggeliat. 'Sejak 3 bulan silam pasar sansevieria mulai bergerak,' kata Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Ia merujuk pada pendapatan di nurserinya Rp32-juta per bulan sejak 3 bulan silam. Beberapa pemain fanatik menyebut pergerakan pasar sansevieria sejak setahun silam. Itu terutama untuk jenis eksklusif.
Menurut Agus Mulyadi, pemain sansevieria di Solo, lidah naga disebut eksklusif bila bersosok cantik, langka, dan pertumbuhan lambat. Tiga syarat itu menyebabkan sansevieria eksklusif dibandrol selangit, Rp500-ribu-Rp60-juta per pot. Djumiati Aris Budiman, pemilik nurseri Watuputih, Yogyakarta memberi syarat tambahan. 'Tanaman biasa bisa jadi eksklusif bila mengalami mutasi,' katanya. Sebut saja jenis giant alias masoniana. Tanpa mutasi harganya Rp50-ribu-Rp100-ribu per daun. Namun, giant variegata putih Rp7,5-juta per daun. Giant variegata golden (kuning, red) dibandrol Rp5-juta per daun (baca: Harga Selangit Sanse Variegata, hal 22-24).
Definisi lebih lunak diberikan Soedjianto, pemain di Wonosobo. 'Yang disebut eksklusif semua jenis sansevieria nonlaurentii dan hahnii,' tuturnya. Harganya mulai Rp50-ribu per pot hingga puluhan juta rupiah. Toh, bukan berarti semua lidah naga sekelompok S. trifasciata laurentii dan hahnii tergolong murahan. California yang dibandrol Rp1-juta per pot berdaun 3-4; gold flame Rp250-ribu-Rp1- juta per pot. Golden wendy-sekelompok dengan hahnii-Rp750-ribu-Rp2,5-juta per pot.
Momentum Bukan tanpa alasan jika kini sansevieria berkibar. 'Harga anthurium sudah tidak masuk akal. Jadi, pemain tanaman hias mencari tanaman lain yang bisa diangkat dengan harga rasional. Sansevieria memenuhi syarat itu,' ujar Iwan.
Harga lidah naga memang terjangkau. 'Ia mengalami kenaikan, tapi bertahap. Tidak sedrastis raja daun,' kata Willy Poernawan, ketua Masyarakat Sansevieria Indonesia (MSI), di Yogyakarta. Sebut saja S. kirkii var. pulchra 'coppertone.' Pada awal 2007 harga 3-4 daun dengan bentangan 20 cm Rp250-ribu. Pertengahan tahun menjadi Rp350-ribu-Rp450-ribu, dan di penghujung tahun Rp750-ribu.
Kenaikan harga yang cenderung bertahap itu membuat pemain mudah memprediksi pasar. 'Pergerakan harga mudah dipantau, harga di mancanegara diketahui persis melalui internet,' ujar Harry. Itulah salah satu alasan Harry nekat bermain sansevieria. Artinya, di bisnis sansevieria, pemula sekalipun tak akan merasa tertipu membeli dengan harga tinggi.
Informasi yang serba terbuka di dunia sansevieria menjadi antitesis bagi orang yang menganggap harga di dunia tanaman hias rawan goreng-menggoreng.
Penuhi 7 syarat Djumiati menambahkan 7 syarat yang mesti dimiliki tanaman agar bisa diterima masyarakat dan menjadi tren. Tiga syarat pertama berhubungan dengan estetika: cantik, variasi bentuk beragam, dan variasi warna tinggi. 'Sebetulnya dengan 3 syarat itu, sebuah tanaman pasti disukai hobiis, tapi tak cukup kuat untuk menjadi tren yang panjang,' kata Mimi, sapaan Djumiati.
Tiga syarat lain berkaitan dengan penanganan: perawatan mudah, tingkat perbanyakan sedang, dan pertumbuhan lambat. 'Bila tanaman mudah dirawat, biaya perawatan rendah, hobiis dan pemula gampang tertarik. Koleksi tanaman tak akan mengganggu rutinitas sehari-hari,' ujarnya. Dua sifat yang disebut terakhir disukai produsen dan pedagang. Bila tanaman terlalu mudah diperbanyak, kejenuhan pasar gampang terjadi. Pertumbuhan lambat membuat periodisasi sebuah tren panjang.
Syarat terakhir tergolong tambahan, tapi berperan penting mempengaruhi publik. Tanaman mesti mempunyai nilai guna selain nilai estetika. Sansevieria bersifat antipolutan dan antiradiasi. Itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Hasil penelitian selama 25 tahun menyebut lidah mertua mampu menyerap 107 polutan udara. Jadi, semua syarat untuk jadi tren itu terpenuhi oleh lidah naga.
Siklus berulang Sejatinya, tren sansevieria di tanahair bukan kali pertama. Pada 2004-2005, dunia tanaman hias dikejutkan dengan maraknya orang mengebunkan S. laurentii. Kala itu importir dari Korea bergerilya langsung ke pelosok Pulau Jawa untuk mencari kerabat agave itu. Kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak, dan Cianjur) di Jawa Barat dan Malang, di Jawa Timur, pun berubah menjadi sentra laurentii. Saking populernya laurentii, tanaman pagar itu menjadi incaran maling.
Sayang, perniagaan ekspor terhenti pada 2005. 'Semua kebun terkena serangan busuk daun karena bakteri Erwinia sp,' kata Anna Sylvana, eksportir sansevieria. Laurentii rentan penyakit tersebut. Hingga 2007 hanya 2 eksportir bertahan: di Yogyakarta dan Malang. Namun, penelusuran terakhir di penghujung 2007, eksportir di Yogyakarta pun gulung tikar.
Menurut Anna tren pada 2004-2005 itu sebetulnya putaran kedua. Pertama kali laurentii dikirim ke mancanegara dimulai pada 2000. Ketika itu nurseri Greenery mendapat permintaan langsung dari Jepang. Ketika itu negeri Sakura itu tengah getol mengkampanyekan sansevieria sebagai antipolusi. 'Hasil penelitian NASA sebetulnya menyebut 10 tanaman penyerap polusi,' tutur Anna. Tanaman lain kurang gaungnya karena berupa tanaman bunga, krisan, yang umurnya pendek. Atau tanaman daun: phylodendron, aglaonema, dan spatiphylum yang lebih cocok untuk indoor. Lidah mertua cocok untuk indoor dan outdoor.
Ketika kegiatan ekspor terhenti, pasar lokal justru terbuka. Namun, jenis yang diminati hobiis lokal bukan laurentii. Yang dicari jenis-jenis berdaun tebal dan bulat. Sebut saja cylindrica, suffruticosa, dan ehrenbergii. Maklum, informasi sansevieria sebagai tanaman antipolusi kian menyebar.
Laju impor Peluang itu ditangkap para importir tanaman hias. Boen Soediono di Jakarta menjelajahi Thailand. 'Di sana ada 3-4 nurseri yang khusus menyediakan sansevieria,' kata pemilik nurseri Bloemfield itu. Dari perjalanan 4 kali sepanjang 2007 ia membawa 10 jenis baru yang tergolong langka. Antara lain volkensii, koko, horwood, humiflora, hawaiian star, dan suffruticosa 'frosty spears'. Begitu sampai di tanahair, tanaman langsung berpindah tangan.
Menurut Boen sebetulnya lidah mertua impor masuk pertama kali ke tanahair pada 1980 melalui kolektor asal Belanda. Sayang, jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak sempat tren. Jenis yang masuk: coral blue dan douglas. Di Wonosobo, coral blue dan douglas ditanam oleh ekspatriat asal Amerika bernama Jack E Craig pada 90-an sebagai elemen taman.
Importir lain, Handhi, mendatangkan lidah jin dari Thailand setiap 2 bulan sejak 2 tahun silam. Jenis yang dibawa twister tsunami. Dalam waktu 6 bulan 50 pot lidah naga setinggi 15 cm dan berdaun 7-8 itu laku dengan harga Rp1-juta per pot. Sejak 4 bulan silam, volume penjualan meningkat menjadi 100 pot per bulan. Jenisnya tak melulu twister, tapi juga patens, suffruticosa, fernwood, dan phillipsiae.
Kehadiran jenis baru dipercaya ikut mendongkrak tren sansevieria. Sejak 3 bulan terakhir omzet nurseri Watuputih dari sansevieria mencapai Rp100-juta per bulan. Yang paling banyak dicari-mencapai 50% volume penjualan-sansevieria berharga Rp500-ribu-Rp1-juta. Semua tanaman didatangkan dari Thailand.
Kerikil tajam Namun, bila tergiur bisnis sansevieria, bersiaplah melewati jalan terjal dan berliku. Pada awal 2007, Sarjianto bersama seorang rekan mencacah indukan giant, pinguicula, dan kenya yasin untuk perbanyakan. Enam bulan kemudian saat anakan itu siap dijual permintaan lidah jin nol. 'Selama 3 bulan pasar mandek,' kata pria asal Yogyakarta itu. Padahal, ia berharap meraup omzet minimal Rp20-juta per bulan. Kenyataan, pendapatan ketika itu hanya Rp2-juta per bulan.
Batu sandungan lain, salah penanganan. Sebuah samurai asal Thailand yang dibeli Mimi seharga Rp15-juta pada kuartal awal 2007 semula tampak gagah. Namun, begitu di-repotting, sansevieria itu stres. 'Daun jadi meliuk-liuk karena salah pengemasan saat diimpor. Hingga kini lidah naga itu teronggok di pojokan rumah plastik miliknya.
Penyakit busuk daun tetap jadi momok, terutama untuk jenis laurentii dan hahnii. Hanya dalam hitungan minggu, kebun laurentii dan moonshine untuk ekspor seluas 8 ha milik Greenery luluh-lantak diterjang Erwinia sp. Kini pasar yang dikuasai Indonesia diambil alih oleh Vietnam dan Birma.
Kendala lain, pencurian. Seorang hobiis di Sawangan, Depok, hanya bisa terpekur lesu. Sebanyak 180 jenis sansevieria asal Perancis yang baru datang digondol maling. Padahal, banyak jenis yang mutasi.
Semarak kontes Toh, segudang kendala itu tak menyurutkan semangat para pemain. 'Untuk penanaman di lahan luas memang tidak menguntungkan. Tapi, pembudidayaan sebagai tanaman pot tetap prospektif,' kata Lanny Lingga di Bogor. Konsumen sansevieria dalam pot adalah hobiis di tanahair.Sebagai contoh, sejak 3 bulan terakhir superba, superba futura, dan tiger yang dipotkan Liling Watiasita di Yogyakarta laris manis. 'Permintaan pot plant meningkat 30%,' katanya.
Geliat bisnis lidah jin pun didukung maraknya kontes di berbagai daerah. Pada Januari 2008 tercatat 2 kabupaten menggelar kontes: Blora dan Banyumas. Bahkan, Blora kini dicanangkan sebagai kota sansevieria oleh sang bupati, Drs RM Yudhi Sancoyo, MM. Di penghujung 2007, ajang serupa digelar di Surabaya dan Yogyakarta.
Sebulan sebelumnya di Jakarta dan Yogyakarta. 'Sejak 6 bulan terakhir hampir tiap bulan digelar 2 kontes. Peserta berlimpah, mulai 50 hingga tembus 102 peserta,' kata Willy. Bandingkan dengan 2005, saat itu kontes lidah mertua hanya sekali digelar. Sepanjang 2006 hingga April 2007 kontes sansevieria hanya 4 kali.
Frekuensi kontes yang meningkat seiring dengan munculnya komunitas pencinta sansevieria. Di Yogyakarta ada: Masyarakat Sansevieria Indonesia alias MSI. Kini cabang-cabang MSI berdiri di berbagai daerah. Sebut saja Klaten, Solo, Wonosobo, Blora, Tulungagung, Surabaya, dan Ngawi.
Mempunyai sansevieria ibarat mengoleksi lukisan pelukis terkenal. Tak semua yang punya uang bisa memiliki. Jumlahnya terbatas sehingga eksklusif,' kata Michael, kolektor di Semarang. Itulah peluang yang ditangkap orang-orang seperti Harry dan Heroe

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Diary's Farmer. Template created by Volverene from Templates Block
lasik surgery new york and cpa website solutions
WP theme by WP Themes Expert